Dalam strategi implementasi knowledge management, knowledge officer akan memasukkan aktivitas-aktivitas yang mendukung program KM di organisasi atau perusahaan di dalam project management nya. Aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan yang berkaitan dengan online ataupun kegiatan yang bersifat konvensional atau offline. Salah satunya adalah Community of Interest (CoI) atau sering disebut Komunitas Hobby di dalam perusahaan. CoI juga dapat dimasukkan pula ke dalam wadah kegiatan resmi perusahaan misalnya Badan Pengurus Olahraga dan Seni.
Dalam strategi implementasi knowledge management, knowledge officer akan memasukkan aktivitas-aktivitas yang mendukung program KM di organisasi atau perusahaan di dalam project management nya. Aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan yang berkaitan dengan online ataupun kegiatan yang bersifat konvensional atau offline. Salah satunya adalah Community of Interest (CoI) atau sering disebut Komunitas Hobby di dalam perusahaan. CoI juga dapat dimasukkan pula ke dalam wadah kegiatan resmi perusahaan misalnya Badan Pengurus Olahraga dan Seni.
Sebenarnya Community of Interest adalah salah satu knowledge management tools yang cukup efektif dan mudah dilaksanakan sehingga banyak diterapkan di perusahaan. Komunitas ini bersifat informal dan lebih fokus ke kesamaan minat, misalnya kegiatan hobi, seni dan olahraga. Di beberapa perusahaan terdapat komunitas bulutangkis, futsal, band hingga fotografi. Lalu apa hubungannya kegiatan-kegiatan seni dan olahraga tadi dengan knowledge management? Maksud dan tujuan dibentuknya komunitas ini adalah agar dapat terciptanya kondisi berbagi pengetahuan dalam suasana yang lebih santai (casual). Mengapa ini menjadi perhatian, karena di dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari, karyawan cenderung terjebak dalam silo atau sekat-sekat antar bagian sehingga komunikasi hingga aliran pengetahuan tidak dapat berjalan lancar.
Dalam suasana santai, seorang bawahan akan terasa lebih nyaman dalam bertukar pikiran atau menyampaikan ide ke atasan dalam suasana kebersamaan yang erat, seperti di lapangan olah raga. Situasi ini jauh lebih ‘mengena’ dibanding seorang karyawan yang mencoba bertukar pikiran atau menyampaikan ide ke atasan di dalam ruang kerja atau ruang meeting. Begitupun sebaliknya, seorang atasan lebih ‘cair’ dalam menginstruksi sebuah tugas atau berbagi pengetahuan kepada bawahan di dalam suasana kebersamaan.
Walau CoI diharapkan menjadi tools yang efektif dalam penyebaran pengetahuan, namun di dalam praktek sehari-hari, pelaksanaannya terkadang mengalami beberapa tantangan. Salah satunya adalah situasi dan kondisi organisasi atau kebiasaan para karyawan di sebuah perusahaan. Sebagai contoh, ‘after office hours’ seharusnya adalah kondisi yang ‘benar-benar bebas’ dari apapun yang berhubungan dengan urusan pekerjaan dan karyawan dapat bergabung dalam kegiatan CoI. Suasana ini sangat dinantikan oleh karwayan atau bawahan, dimana dalam kesehariannya mereka merasa full mendedikasikan waktunya ke Perusahaan. Tetapi beberapa perusahaan masih belum dapat mengaplikasikan kebijakan ini (misal di beberapa perusahaan Jasa Konsultan, Advertising, Event organizer, dsb) sehingga karyawan dituntut untuk ‘menyelesaikan’ tugas hingga larut malam. Kondisi yang diinginkan dalam implementasi knowledge management menjadi (diskusi, pertukaran pengetahuan dll) tidak bisa terlaksana.
Faktor lain adalah jarak tempat tinggal karyawan yang pada umumnya cukup jauh dengan tempat kerja. Mereka juga harus menyesuaikan pada kondisi fasilitas transportasi publik dan infrastrutur jalan yang kuarang baik (kemacetan) sehingga pada saat after office harus segera bergegas pulang agar tidak terlalu larut malam tiba di rumah. Tidak ada waktu untuk sekedar ‘hangout‘ dengan teman-teman sekerja. Ini berbeda dengan umumnya budaya oriental (bangsa korea, jepang, cina) dimana karyawan kapanpun terbiasa ‘engage‘ untuk berdiskusi masalah pekerjaan kapanpun, di dalam ataupun di luar jam kerja (di cafe, pub, restoran dll). Selain transportasi publik dan lalulintas yang relatif lancar (mudah), tidak ada tuntutan untuk mereka agar tiba segera di rumah setelah pulang bekerja.
Tantangan berikut terdapat pada leadership dari para pimpinan perusahaan dan tingkat penerimaan para karyawan. Tidak semua pimpinan perusahaan dapat nyaman untuk bergabung di dalam komunitas ‘after office hours’ yang ada di perusahaan dan tidak semua karyawan dapat menerima (merasa risih dan tidak ‘bebas’) jika seorang pimpinan masuk menjadi anggota kegiatan komunitas tersebut. Kondisi seperti ini terjadi pada perusahaan atau organisasi yang memiliki ‘Hierarchy culture‘ alias organisasi yang menekankan pada definisi ranking atau jabatan yang jelas.
Tantangan-tangangan tersebut bisa terjawab dengan leadership yang baik dari para atasan. Dengan semangat ingin berbagi dengan cara ‘menyatu’ dengan para bawahan, hal tersebut bisa diatasi. Seorang Direksi yang ‘kebetulan mampir’ pada jadwal rutin kegiatan bulutangkis atau futsal di perusahaan dapat membawa impact sangat besar dalam Community of Interest. Rasa bangga karyawan akan ‘diperhatikannya’ kegiatan mereka dapat menjadi senjata ampuh dalam transfer pengetahuan para pejabat ke bawahan.